Dari dulu aku selalu bertanya-tanya, seperti apa ya rasanya kehilangan orang tua dan namanya diumumkan melalui pengeras suara saat aku di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Setelah menikah, aku pun masih menanyakan hal ini ke suamiku. Pertanyaan tentang bagaimana ya rasanya kalau orang yang kita sayang, khususnya orang tua, pergi meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya.
Jawabannya ternyata cukup berat ku rasakan. Tak ada lagi 'rumah' untuk pulang, sekadar melihatnya berjuang bertahan hidup, melahap makanan yang rasanya mungkin sudah tak senikmat dahulu kala. Begitu yang ku rasakan saat kehilangan Mbah putriku dan juga Mbah kakung.
Mungkin kita masih bisa mengunjunginya di pemakaman. Tidur di rumahnya yang sekarang kosong, karena anak-anaknya semua pergi merantau. Memakai pakaiannya yang belum usang, namun penuh kenangan. Sedih rasanya ya bila dikenang berlarut-larut. Kematian memang sebaik-baik pengingat saat kita hidup di dunia.
Kalaulah kita tau, betapa cepatnya kita dilupakan setelah mati. Tidak akan pernah kita mati-matian beramal untuk manusia yang pasti melupakan kita secara cepat.
Ustadz Oemar Mita
Kerinduan pada yang berpulang, pada akhirnya menuju ke peraduan yang sama jika Sang Maha Kuasa memperkenankan kita bertemu kembali di surgaNya. Keabadian itu melalui perjalanan panjang yang penuh kenangan terdalam di benak kami, cucu-cucu, anak-anak, menantu-menantu, dan semua yang pernah mengenal beliau yang sudah mendahului kami.
Kalaulah rindu itu datang, foto-foto beliau memang masih bisa dipandang dengan jelas sambil mendoakannya. Namun tentu berbeda rasa saat melihatnya langsung tersenyum dan mengukir kenangan-kenangan bersama kami di dunia ini. Persembahan terbaik yang bisa ku berikan pada orang-orang yang telah mendahuluiku kesana. Walau sendu, tapi hidup harus tetap mengikuti takdir yang telah Allah SWT gariskan.
Perlahan ingatanku kembali pada masa anak-anak, aku memohon pada Sang Maha agar diwafatkan lebih dulu sebelum orang-orang yang ku sayangi wafat. Namun kini setelah memiliki anak-anak, rasanya ingin hidup lebih lama walaupun kadang banyak faktor eksternal yang membuatku lelah dan merasa cukup terbebani. Ku telusuri lebih dalam, baru terungkap bahwa alasan lain yang membuat suami merumahkan dirinya sendiri pada masa itu adalah karena faktor kehilangan. Ini juga yang akhir-akhir ini menjadi ujian bagi keluarga kami, kehilangan orang tua, mbah, buyut, tercinta.
Kehampaan, kesedihan, menyergap, tanpa ku sadari aku menghindari semuanya secara tidak langsung. Insya Allah tahun depan jiwa raga ini siap menerima kenyataan bahwa tak ada lagi orang yang menunggu kita saat pulang ke tanah kelahiran. Kemelekatan-kemelekatan ini Insya Allah menjadi penyemangat dalam menghadapi kehidupan yang terus berjalan meskipun ditinggal meninggal oleh orang-orang yang kita sayang.