Rumah Sakit menjadi tempat yang rutin dikunjungi beberapa hari terakhir. Setelah hari lahirnya tiba, suami memutuskan untuk lebih fokus memikirkan kesehatannya. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, menunggui pasien di RS dalam kondisi hamil. Berbagai kekhawatiran tentu muncul sebelum proses rawat inap berlangsung. Aku pikir RS yang akan merawat suami ini tidak akan memberikan fasilitas yang layak, namun kenyataannya tidak juga. Hanya mungkin ruang yang sempit membuatku merasa seharusnya pelayanannya tidak seperti ini. Benar-benar nikmat bersyukur itu harus ditanamkan setiap saat. Senyaman apapun fasilitas sebuah RS, tentu lebih nyaman hidup sehat dan bebas dari penyakit.
Hari kedua di ruang tunggu operasi menjadi hari yang panjang. Ruang kamar yang dingin, sehelai baju operasi tak cukup mengaburkan kekhawatiran yang menyelimuti bahkan jauh sebelum jadwal operasi ditentukan. Jarum jam seolah-olah berputar lebih lambat dari seharusnya. Tepat di tujuh tahun pernikahan kami, RS menjadi saksi bisu perjalanan hidup yang harus ditempuh. Mungkin ada yang berpikir ini ujian yang berat, namun aku berpikir inilah waktu yang tepat untuk istirahat sejenak dari memikirkan orang-orang yang ada di sekitar. Tanpa anak dan tanpa dampingan orang tua, kami berusaha menguatkan satu sama lain. Mengenang kembali masa-masa naik motor berdua dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mungkin kelak jika sudah menua dan masih bersama hanya itu yang kita punya.
Wajah-wajah pasien menahan perihnya rasa sakit tampak jelas di depan mata. Disaat butuh bantuan, terbukti bahwa memiliki kolega yang kita kenal di RS pun tetap tak ada gunanya. Pada akhirnya ya hidup akan terus berjalan sesuai peran masing-masing, memikirkan ujian hidup masing-masing, tak perlu berharap banyak pada sesama manusia. Dari mulai tenang, ruang tunggu operasi membawa kesedihan dari orang-orang yang berdatangan baik keluarga maupun pasien. Suara mesin-mesin operasi mulai terdengar dan keluarga menunggu dengan harap-harap cemas. Sejauh apapun kita berjalan menjelajahi belahan dunia. Hanya keluarga lah tempat kita kembali.
Satu hal yg nggak terbayangkan sebelumnya dalam kisah Rumah Sakit ini adalah suara dengkuran suamiku yg sukses bikin pasien lain tidak bisa tidur. Awalnya penunggu pasien memaafkan, tapi kemudian diceritakan kembali pada tamu beliau yg besuk saat aku mendengar jelas bisik-bisik dibalik sehelai gorden itu. Alhamdulillah di hari kedua kita bisa terpisah satu kasur dari keluarga pasien tersebut yang menurutku sama-sama saling mendzalimi karena ketika tamu-tamu mereka berdatangan suara obrolannya begitu keras khas sekali salah satu suku di negeri ini. Mungkin ini toleransi yg sebenarnya, tenggang rasa, & saling menghormati satu sama lain. ♥
Berkeliling menikmati suasana Rumah Sakit dengan suka dan dukanya menjadi salah satu aktivitasku beberapa hari yang lalu. Menyusuri lorong-lorong, menyantap masakan kantin, dan mencari masakan kaki lima di malam hari. Semuanya terasa nikmat bahkan tidur bersebelahan dengan kolong kasur pasien tak pernah terbayangkan sebelumnya. Aku ingat betul saat ibuku mendapatkan perawatan intensif di Rumah Sakit pusat ibukota, tentu jauh berbeda fasilitasnya bahkan aku senang berlama-lama di kamar mandi karena hanya ibuku seorang saja pasiennya. Namun, seperti yang sudah ku ketik sebelumnya... senyaman dan sebaik apapun fasilitas Rumah Sakit, tentu lebih nyaman di luar Rumah Sakit dan bebas penyakit.
Masing-masing dari kami menyelesaikan 'tugasnya', anakku alhamdulillah sudah khitan, suami sudah operasi, dan aku yang dalam beberapa bulan lagi akan melahirkan. Masya Allah, Tabarakallah, Fabiayyi ala irobbikuma tukadziban (فَبِأَيِّ آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ) :')
Hari ketiga di Rumah Sakit adalah pembuktian bahwa kuasa Allah SWT amatlah BESAR. Antara senang bisa pindah ke ruangan yg lebih nyaman, bumil satu ini tak perlu lagi tidur beralaskan karpet Palembang. Ada sofa yang empuk dan hanya dua orang saja dalam satu kamar. Seharusnya memang seperti ini, namun karena kamar penuh terpaksa dari awal kami harus turun kelas sementara bayar VIP kami belum ada budgetnya. Namun kenyamanan ini harus dibayar dengan insiden yang menimpa suamiku. Semoga kesabaran dan keikhlasan senantiasa diberikan Allah SWT untuk suamiku dalam masa penyembuhan ini, aamiin yaa robbal 'alamiin.
Untuk sementara hari-hariku diisi dengan rebahan dan selonjoran. Ternyata hari-hari ini pun pernah ku jalani di rumah dengan aktivitas bernama malas-malasan. Pantaslah kalau yang sehat malu terhadap yang sakit, karena banyak waktunya digunakan untuk membuang-buang waktu. Sejauh ini menu-menu masakan Rumah Sakit tidak terlalu buruk. Mulai dari sayur sop, ayam kecap, dan bubur, semuanya masih terlihat menggugah selera. Di hari keempat masuk Rumah Sakit, aku berharap bisa pulang hari ini. Sudah teringat cucian, jalanan komplek yang akan dibeton, juga anakku yang Alhamdulillah terkondisikan dengan baik di rumah kakak kami. Memasuki hari-hari lebih memilih makan soto yang berkuah hangat sambil mengingat kenangan-kenangan manis sewaktu pagi di Salemba. Jalan pagi bersama almarhum ibu, lalu lanjut sarapan soto di belakang tempat kerja dengan pemandangan pinggir sungai ibukota.
Kesehatan benar-benar harus dibayar mahal. Alhamdulillah setelahnya kami bisa melanjutkan rawat jalan. Tak perlu lagi mandi terburu-buru dan terbangun saat perawat datang menyuntikkan obat ke dalam alat infus pasien. Banyak sekali hikmah yang bisa diambil setelah melihat berbagai kondisi orang-orang di Rumah Sakit.